Kamis, 25 Februari 2016

MATEMATIKA ILMIAH, ORDE BARU & ORDE BAU!

AL MUVTI BHUTASVARA - Matematika sebagai kerangka pemikiran dalam menghitung benda (matter) yang disimbolkan angka dan kata non-verbalis (contoh: x dan y) dan dituangkan dalam rumus-rumus: penjumlahan, pembagian, perkalian, pengurangan, dll. matematika oleh sebagian ilmuwan dikatakan sebagai proses berfikir deduktif (dari premis umum, ke kesimpulan khusus).
dalam ranah filsafat saya menganalogikan dengan aliran rasionalisme yang mengedepankan penalaran dan apriori (pernyataan langsung, tanpa pengujian lapangan) yang berbeda dengan aposteriori yang biasanya dikaitkan dengan “ilmu” yang membutuhkan pengujian hipotesis, bla bla bla.
Matematika demikian kita pahami di atas, terang bagi kita semua bahwa matematika salah satu sarana kita untuk mendapat pencerahan dalam di tengah kesulitan mengurai masalah di lini-lini kehidupan (ekonomi, pendidikan, sosial, dll). Disebabkan matematika mampu menciptakan pemikiran kita agar dapat berfikir logis dan rasional-kritis. Seorang matematikawan menelusuri fakta sejelas mungkin untuk mengkonfirmasinya menjadi premis-premis yang akan disusun dalam kerangka analasis (contoh: silogisme). Walau dengan penalaran mendalam dan canggih, tetapi premis atau pengetahuan yang belum benar, ini akan mengacaukan penalaran. Semisal aku  bernalar:
Premis umum : Setiap orang kantor selalu berpakaian rapi
Premis khusus : Wildan bekerja di kantor
Kesimpulan : Diperkirakan Wildan selalu berpenampilan rapi
Kenapa perlu “Diperkirakan” ikut serta dalam pernyataan kesimpulan, kenapa tidak langsung saja aku mengatakan “Wildan selalu berpenampilan rapi”? disebabkan premis-premis ini masih belum terkonfirmasi. Apakah sudah terbukti di setiap kantor karyawannya berpakaian rapi pertama. Kedua, apakah Wildan selalu mampu dan siap bernampilan rapi? Maka disini perlu disusun premis-premis lain untuk menyimpulkan kondisi Wildan sesungguhnya, seperti:


Premis umum  : Seorang yang menyukai musik rock berpenampilan acak-acakan
Premis khusus : Wildan menyukai Guns and Roses selaku band beraliran rock
Kesimpulan     : Wildan berpenampilan acak-acakan


Disini dapat ditemukan fakta baru, bahwa Wildan ternyata berpenampilan acak-acakan. Lalu, bagaimana dengan fakta bahwa Wildan bekerja di kantor? Maka yang perlu dijawab, kapan Wildan berpenampilan rapi dan acak-acakan? Dan faktor apa saja yang mempengaruhi?.


Sayangnya, matematika adalah seperangkat pengetahuan humaniora yang bebas nilai. Maka bergantung kepada penggunanya, matematika mau diperlakukan seperti apa, entah akan dikasihi, diperkosa, atau disiksa, bergantung “user”-nya. Disebabkan matematika yang tidak memuat moralitas seperti etika, politik, agama, dan kewarganegaraan. Matematika murni pengetahuan. Sebagaimana matematika, ilmu umum (sosial dan alam) yang tidak memuat moralitas sering disalahgunakan, seperti: kimiawan yang membuat bom virus/kuman yang mematikan pada perang dunia 1, fisikawan yang membuat bom atom dan meluluhlantahkan Hiroshima-Nagasaki. Baiklah, moralitas itu urusan lain di luar ilmu umum atau pengetahuan umum, biarlah agamawan dan seorang negarawan yang akan berdiri dan lantang berbicara. Tapi adakah yang seperti Albert Einsten yang menyurati Presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt, agar segera menindak Jerman yang diinisiasi Nazi dalam menghentikan pembuatan nuklir, disebabkan Albert Einsten sebagai seorang penemu teori relativitas, E=mc2, yang menjadi dasar pembuatan nuklir itu merasa “bertanggung jawab” akan dampak yang akan ditimbulkan.
Mengetahui kenyataan yang saya kemukakan di atas, akan saya paparkan 3 percakapan dari konteks user-nya. Pertama dari percakapan ilmiah, antara guru dan anak didik. Kedua, percakapan antara tim pelenyeksi menteri dan peserta pendaftar lowongan di era Orde Baru.  Ketiga, dari percakapan antara seorang aktivis dengan pejabat negara dalam konteks kekinian yang saya sebut Orde Bau.


Dialog Pertama
Guru : Anak-anak 1 + (tambah) 1 sama dengan berapa?


Murid 1 : 1+1= 11 bu guru


Guru : Kok gitu nak? 1+1 kenapa bisa jadi 11 ya


Murid 1           : Kan kata bu guru 1 ditambah 1, ya jadinya 11 tho bu


Guru                : Oh iya ya, benar kamu nak! Ibu yang keliru berucap hehe (sambil tersipu malu karena  maksud pertanyaan tidak sesuai tujuan)


Semua Murid  : (ahaha) iya bu


Guru                : Maksud saya, 1 + (dijumlah dengan) 1= berapa nak?


Murid 2           : 2 bu guru!


Pada dialog 1 ini mencerminkan adanya kejujuran dan mengedepankan kebenaran dengan proses yang menggembirakan dan alamiah sekali. Bandingkan dengan percakapan pada:


Dialog Kedua


Suatu ketika terjadi proses seleksi calon menteri pada kabinet rezim Soeharto. Setiap calon menteri akan diwawancarai oleh tim khusus yang dibentuk Soeharto untuk menguji seberapa cerdas dalam politik dan mengetahui apakah ada kesamaan visi, karena menteri yang tidak paham dengan politik ini akan merepotkan nantinya dikhawatirkan akan diadu domba oleh pihak lain, terlebih jika tidak ada kesamaan visi, sebagai berikut:


Sesi 1


Tim Seleksi     : Apakah saudara siap untuk menjadi menteri dan siap mengemban tanggung jawab?


Calon Menteri : Iya, saya siap, lillahi ta’ala saya tulus dan bersungguh-sungguh dalam mengemban amanat sebagai menteri!


Tim Seleksi     : Baik saudara, selanjutnya saya ingin bertanya kepada anda. Pertanyaan ini sangat sederhana sekali, dan saudara tentu bisa menjawab.


Calon Menteri : Oh iya, monggo bertanya


Tim Seleksi     : saudara, 7 x 3 sama dengan berapa?



Calon Menteri : dua puluh satu! (Ia menjawab dengan tegas)


Tim Seleksi     : Jawaban anda benar sekali


Calon Menteri : Terimakasih, lalu bagaimana pak, apakah saya diterima menjadi menteri?
Sebentar, Tim Seleksi bertukar pandang, dan saling berbicara dengan suara lirih dan samar-samar didengar oleh Calon Menteri. Sekilas terlihat sebagian mereka bergeleng-geleng kepala tanpa banyak berkomentar, dan akhirnya...


Tim Seleksi     : Mohon maaf sekali, anda tidak diterima menjadi menteri


Calon Menteri : Loh, kenapa dengan jawaban saya ? saya sudah menjawab benar, kalian juga mengatakan benar kok


Tim Seleksi     : Memang jawaban anda benar, tetapi jawaban anda tidak memenuhi kriteria yang kami tetapkan sebagai menteri...


Sesi 2


Selang beberapa menit muncul lah seorang Calon Menteri lain dengan gaya dan penampilan yang lain dari sebelumnya. Ia berpenampilan garang, rapi, kakinya dibungkus pentofel, mengenakan arloji mahal, dan yang paling mencolok: mencincing koper kecil, yang biasanya di film James Bond berisi uang yang dibawa oleh mafia dalam melakukan transaksi.
Tanpa banyak basa-basi, Tim Seleksi mempersilakan Calon Menteri untuk duduk dan memulai wawancara:


Tim Seleksi     : Apakah Saudara Siap untuk menjadi seorang menteri?


Calon Menteri : Jelas, saya siap


Tim Seleksi     : Baik, kami akan memulai dengan pertanyaan inti: 5 : 6= berapa?


Calon Menteri : Kalian mintanya berapa? Itu sudah jawaban saya (Dibukanya ke hadapan Tim Seleksi koper berisi uang bertumpuk penuh)


Tim Seleksi     : Kami tidak mau meminta uang saudara, tetapi saudara sudah memenuhi kriteria kami sebagai menteri


Calon Menteri : Singkat sekali, saya langsung diterima. Memang apa kriteria menjadi menteri?


Tim Seleksi     : Kami menetapkan kriteria Menteri itu memiliki pola pikir politik praktis, lihai melobi, dan memiliki jiwa korup. Pak Harto yang menjadi Presiden korup, harus mempunyai menteri di bawahnya yang korup juga, jadi kalau sama-sama korup kan enak, rakyat biar tidak korupsi, biar kita-kita saja yang korupsi.


Calon Menteri : Ya ya ya (haha)


Kemudian, mari kita baca Dialog Ketiga:


Aktivis            : Bapak, kami ingin bertanya kepada anda? (Ia berbicara dengan mic di sebuah ruangan rapat dinas)


Birokrasi          : Iya silahkan, saya akan jawab


Aktivis            : Sederhana, 5 + 3 + 3 – 3 : 4 x 8= berapa pak?


Birokrasi          : Sebelum saya menjawab, saya bertanya kepada saudara apakah mas tahu matematika? Apakah pertanyaan mas itu sudah sesuai dengan prosedur dan ketentuan hukum matematika yang berlaku? Apakah saudara berhak untuk bertanya soal matematika, sedangkan mas sebagai aktivis, warga sipil biasa, bukan seorang matematikawan?



Aktivis            : Bapak kenapa bertanya balik seperti itu, hayo apa yang bapak sembunyikan. Apa bapak tidak tahu peraturan yang mengatur kebebasan berpendapat dan bertanya?


Pada dialog pertama kita melihat adanya kealamiahan dalam proses percakapan dan saling menjunjung kebenaran apa yang mereka miliki. Bandingkan dengan (cerita fiksi) dialog kedua, kebenaran sesungguhnya dianggap sebagai kurang memenuhi kriteria daripada Calon Menteri yang ditanya pembagian seketika menjawab “minta berapa?”. Hal itu saya maksudkan sebagai gambaran era Orde Baru yang penuh korupsi, dimana wakil-wakil rakyat hampir keseluruhan “tikus berdasi” sehingga kebutuhan menterinya mencari orang yang korup, sederhana. Kemudian dialog ketiga, ketika birokrasi bertanya-tanya balik soal matematika dengan mengedepankan prosedur, legalitas, dan keabsahannya dari pada substansinya. Seakan pihak birokrasi oleh aktivis dikatakan menyimpan sesuatu, entah takut terbongkar rahasianya, atau memang tidak tahu jawabannya dan merasa malu kalau tidak bisa menjawab pertanyaan seorang bocah. Walau pun begitu akan tetap terendus bau busuk kebohongan birokrasi, disebutlah Orde Bau, Orde yang berlaku hari ini, penuh bau, bau penindasan, bau korupsi, bau intrik, bau pelemahan (Mengutip dari Budi Gunawan Susanto). Pada dialog ketiga saya teringat dengan sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), ketika Sudirman Said ditanya oleh salah seorang hakim MKD soal keabsahannya mengajukan tuduhan kepada Setya Novanto dalam kasus etik “Papa Minta Saham”, dimana Sudirman sebagai representatif eksekutif bukan dari warga sipil yang tidak berwenang melaporkan tuduhan kepada MKD sesuai UU MD3. Atau ketika para warga sekitar pegunungan Kendeng menggugat tindakan pencemaran lingkungan oleh PT Semen Indonesia, dimana hakim pengadilan PN Semarang tidak mengabulkan gugatan karena sudah kadaluwarsa dari SK pemerintah setempat, kenapa tidak mementingkan sisi substansinya, kalau memang kenyataannya terbukti mencemarkan?, ya inilah Orde Bau!


Menurut Jujun S Suriasumantri (Baca: Pengantar Filsafat Ilmu), ilmu itu memiliki karakternya: logis, rasional, objektif, terbuka, menjunjung tinggi kebenaran, bersifat universal. Dalam dialog kedua dan ketida, memang dikatakan logis dan rasional, tetapi tidak terlihat mampu menjunjung kebenaran, universal, objektif dan terbuka. Bagaimana bisa dikatakan objektif jika pertanyaan yang diajukan Tim Seleksi tidak menganggap kebenaran jawaban sebagai kebenaran, tapi hanya kebenaran semata tidak lebih?. Bagaimana dapat disebut terbuka jika birokrasi yang ditanya oleh aktivis seakan-akan menutup-nutupi?.   
Catatan            :  



  1. Tolong cerita diatas jangan dimasukkan ke hati, cukup dijadikan analogis dan representatif belaka dengan penggambaran keadaan yang diilhami oleh penulis. Karena cerita diatas jelas ketidakbenarannya dan keberuntungannya jika benar.
  1. Walau penulis mengangkat topik matematika dan moralitas ilmu, sejujurnya penulis tidak pandai matematika dan selalu mendapat nilai buruk pada setiap ujian dan tes matematika. Meskipun penulis tidak pandai matematika, setidaknya penulis berusaha untuk menjaga amanat ilmu sebagai tanggung jawab moralitas. Mohon doanya, semoga sanggup
Karya :
Al Muvti Bhutasvara (Much Taufiqillah Al Mufti)
Mahasiswa UIN SA Surabaya baik-baik :)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

header

Theme Preview

Previewing Another WordPress Blog