dalam ranah filsafat saya menganalogikan dengan aliran rasionalisme yang mengedepankan penalaran dan apriori (pernyataan langsung, tanpa pengujian lapangan) yang berbeda dengan aposteriori yang biasanya dikaitkan dengan “ilmu” yang membutuhkan pengujian hipotesis, bla bla bla.
Matematika
demikian kita pahami di atas, terang bagi kita semua bahwa matematika
salah satu sarana kita untuk mendapat pencerahan dalam di tengah
kesulitan mengurai masalah di lini-lini kehidupan (ekonomi,
pendidikan, sosial, dll). Disebabkan matematika mampu menciptakan
pemikiran kita agar dapat berfikir logis dan rasional-kritis. Seorang
matematikawan menelusuri fakta sejelas mungkin untuk
mengkonfirmasinya menjadi premis-premis yang akan disusun dalam
kerangka analasis (contoh: silogisme). Walau dengan penalaran
mendalam dan canggih, tetapi premis atau pengetahuan yang belum
benar, ini akan mengacaukan penalaran. Semisal aku bernalar:
Premis
umum : Setiap orang kantor selalu berpakaian rapi
Premis
khusus : Wildan bekerja di kantor
Kesimpulan
: Diperkirakan Wildan selalu berpenampilan rapi
Kenapa
perlu “Diperkirakan” ikut serta dalam pernyataan kesimpulan,
kenapa tidak langsung saja aku mengatakan “Wildan selalu
berpenampilan rapi”? disebabkan premis-premis ini masih belum
terkonfirmasi. Apakah sudah terbukti di setiap kantor karyawannya
berpakaian rapi pertama. Kedua, apakah Wildan selalu mampu dan siap
bernampilan rapi? Maka disini perlu disusun premis-premis lain untuk
menyimpulkan kondisi Wildan sesungguhnya, seperti:
Premis
umum : Seorang yang menyukai musik rock berpenampilan
acak-acakan
Premis
khusus : Wildan menyukai Guns and Roses selaku band beraliran rock
Kesimpulan
: Wildan berpenampilan acak-acakan
Disini
dapat ditemukan fakta baru, bahwa Wildan ternyata berpenampilan
acak-acakan. Lalu, bagaimana dengan fakta bahwa Wildan bekerja di
kantor? Maka yang perlu dijawab, kapan Wildan berpenampilan rapi dan
acak-acakan? Dan faktor apa saja yang mempengaruhi?.
Sayangnya,
matematika adalah seperangkat pengetahuan humaniora yang bebas nilai.
Maka bergantung kepada penggunanya, matematika mau diperlakukan
seperti apa, entah akan dikasihi, diperkosa, atau disiksa, bergantung
“user”-nya. Disebabkan matematika yang tidak memuat
moralitas seperti etika, politik, agama, dan kewarganegaraan.
Matematika murni pengetahuan. Sebagaimana matematika, ilmu umum
(sosial dan alam) yang tidak memuat moralitas sering disalahgunakan,
seperti: kimiawan yang membuat bom virus/kuman yang mematikan pada
perang dunia 1, fisikawan yang membuat bom atom dan meluluhlantahkan
Hiroshima-Nagasaki. Baiklah, moralitas itu urusan lain di luar ilmu
umum atau pengetahuan umum, biarlah agamawan dan seorang negarawan
yang akan berdiri dan lantang berbicara. Tapi adakah yang seperti
Albert Einsten yang menyurati Presiden Amerika Serikat, Franklin
Delano Roosevelt, agar segera menindak Jerman yang diinisiasi Nazi
dalam menghentikan pembuatan nuklir, disebabkan Albert Einsten
sebagai seorang penemu teori relativitas, E=mc2, yang
menjadi dasar pembuatan nuklir itu merasa “bertanggung jawab”
akan dampak yang akan ditimbulkan.
Mengetahui
kenyataan yang saya kemukakan di atas, akan saya paparkan 3
percakapan dari konteks user-nya. Pertama dari percakapan
ilmiah, antara guru dan anak didik. Kedua, percakapan antara tim
pelenyeksi menteri dan peserta pendaftar lowongan di era Orde Baru.
Ketiga, dari percakapan antara seorang aktivis dengan pejabat negara
dalam konteks kekinian yang saya sebut Orde Bau.
Dialog
Pertama
Guru
: Anak-anak 1 + (tambah) 1 sama dengan berapa?
Murid
1 : 1+1= 11 bu guru
Guru
: Kok gitu nak? 1+1 kenapa bisa jadi 11 ya
Murid
1 : Kan
kata bu guru 1 ditambah 1, ya jadinya 11 tho bu
Guru
: Oh iya ya, benar kamu nak! Ibu yang keliru berucap hehe (sambil
tersipu malu karena maksud pertanyaan tidak sesuai tujuan)
Semua
Murid : (ahaha) iya bu
Guru
: Maksud saya, 1 + (dijumlah dengan) 1= berapa nak?
Murid
2 : 2 bu
guru!
Pada
dialog 1 ini mencerminkan adanya kejujuran dan mengedepankan
kebenaran dengan proses yang menggembirakan dan alamiah sekali.
Bandingkan dengan percakapan pada:
Dialog
Kedua
Suatu
ketika terjadi proses seleksi calon menteri pada kabinet rezim
Soeharto. Setiap calon menteri akan diwawancarai oleh tim khusus yang
dibentuk Soeharto untuk menguji seberapa cerdas dalam politik dan
mengetahui apakah ada kesamaan visi, karena menteri yang tidak paham
dengan politik ini akan merepotkan nantinya dikhawatirkan akan diadu
domba oleh pihak lain, terlebih jika tidak ada kesamaan visi, sebagai
berikut:
Sesi
1
Tim
Seleksi : Apakah saudara siap untuk menjadi
menteri dan siap mengemban tanggung jawab?
Calon
Menteri : Iya, saya siap, lillahi ta’ala saya tulus dan
bersungguh-sungguh dalam mengemban amanat sebagai menteri!
Tim
Seleksi : Baik saudara, selanjutnya saya
ingin bertanya kepada anda. Pertanyaan ini sangat sederhana sekali,
dan saudara tentu bisa menjawab.
Calon
Menteri : Oh iya, monggo bertanya
Tim
Seleksi : saudara, 7 x 3 sama dengan berapa?
Calon
Menteri : dua puluh satu! (Ia menjawab dengan tegas)
Tim
Seleksi : Jawaban anda benar sekali
Calon
Menteri : Terimakasih, lalu bagaimana pak, apakah saya diterima
menjadi menteri?
Sebentar,
Tim Seleksi bertukar pandang, dan saling berbicara dengan suara lirih
dan samar-samar didengar oleh Calon Menteri. Sekilas terlihat
sebagian mereka bergeleng-geleng kepala tanpa banyak berkomentar, dan
akhirnya...
Tim
Seleksi : Mohon maaf sekali, anda tidak
diterima menjadi menteri
Calon
Menteri : Loh, kenapa dengan jawaban saya ? saya sudah
menjawab benar, kalian juga mengatakan benar kok
Tim
Seleksi : Memang jawaban anda benar, tetapi
jawaban anda tidak memenuhi kriteria yang kami tetapkan sebagai
menteri...
Sesi
2
Selang
beberapa menit muncul lah seorang Calon Menteri lain dengan gaya dan
penampilan yang lain dari sebelumnya. Ia berpenampilan garang, rapi,
kakinya dibungkus pentofel, mengenakan arloji mahal, dan yang paling
mencolok: mencincing koper kecil, yang biasanya di film James Bond
berisi uang yang dibawa oleh mafia dalam melakukan transaksi.
Tanpa
banyak basa-basi, Tim Seleksi mempersilakan Calon Menteri untuk duduk
dan memulai wawancara:
Tim
Seleksi : Apakah Saudara Siap untuk menjadi
seorang menteri?
Calon
Menteri : Jelas, saya siap
Tim
Seleksi : Baik, kami akan memulai dengan
pertanyaan inti: 5 : 6= berapa?
Calon
Menteri : Kalian mintanya berapa? Itu sudah jawaban saya (Dibukanya
ke hadapan Tim Seleksi koper berisi uang bertumpuk penuh)
Tim
Seleksi : Kami tidak mau meminta uang
saudara, tetapi saudara sudah memenuhi kriteria kami sebagai menteri
Calon
Menteri : Singkat sekali, saya langsung diterima. Memang apa kriteria
menjadi menteri?
Tim
Seleksi : Kami menetapkan kriteria Menteri
itu memiliki pola pikir politik praktis, lihai melobi, dan memiliki
jiwa korup. Pak Harto yang menjadi Presiden korup, harus mempunyai
menteri di bawahnya yang korup juga, jadi kalau sama-sama korup kan
enak, rakyat biar tidak korupsi, biar kita-kita saja yang korupsi.
Calon
Menteri : Ya ya ya (haha)
Kemudian,
mari kita baca Dialog Ketiga:
Aktivis
: Bapak, kami ingin bertanya kepada anda? (Ia berbicara dengan mic
di sebuah ruangan rapat dinas)
Birokrasi
: Iya silahkan, saya akan jawab
Aktivis
: Sederhana, 5 + 3 + 3 – 3 : 4 x 8= berapa pak?
Birokrasi
: Sebelum saya menjawab, saya bertanya kepada saudara apakah mas
tahu matematika? Apakah pertanyaan mas itu sudah sesuai
dengan prosedur dan ketentuan hukum matematika yang berlaku? Apakah
saudara berhak untuk bertanya soal matematika, sedangkan mas
sebagai aktivis, warga sipil biasa, bukan seorang matematikawan?
Aktivis
: Bapak kenapa bertanya balik seperti itu, hayo apa yang bapak
sembunyikan. Apa bapak tidak tahu peraturan yang mengatur kebebasan
berpendapat dan bertanya?
Pada
dialog pertama kita melihat adanya kealamiahan dalam proses
percakapan dan saling menjunjung kebenaran apa yang mereka miliki.
Bandingkan dengan (cerita fiksi) dialog kedua, kebenaran sesungguhnya
dianggap sebagai kurang memenuhi kriteria daripada Calon Menteri yang
ditanya pembagian seketika menjawab “minta berapa?”. Hal itu saya
maksudkan sebagai gambaran era Orde Baru yang penuh korupsi, dimana
wakil-wakil rakyat hampir keseluruhan “tikus berdasi” sehingga
kebutuhan menterinya mencari orang yang korup, sederhana. Kemudian
dialog ketiga, ketika birokrasi bertanya-tanya balik soal matematika
dengan mengedepankan prosedur, legalitas, dan keabsahannya dari pada
substansinya. Seakan pihak birokrasi oleh aktivis dikatakan menyimpan
sesuatu, entah takut terbongkar rahasianya, atau memang tidak tahu
jawabannya dan merasa malu kalau tidak bisa menjawab pertanyaan
seorang bocah. Walau pun begitu akan tetap terendus bau busuk
kebohongan birokrasi, disebutlah Orde Bau, Orde yang berlaku hari
ini, penuh bau, bau penindasan, bau korupsi, bau intrik, bau
pelemahan (Mengutip dari Budi Gunawan Susanto). Pada dialog ketiga
saya teringat dengan sidang MKD (Mahkamah Kehormatan Dewan), ketika
Sudirman Said ditanya oleh salah seorang hakim MKD soal keabsahannya
mengajukan tuduhan kepada Setya Novanto dalam kasus etik “Papa
Minta Saham”, dimana Sudirman sebagai representatif eksekutif bukan
dari warga sipil yang tidak berwenang melaporkan tuduhan kepada MKD
sesuai UU MD3. Atau ketika para warga sekitar pegunungan Kendeng
menggugat tindakan pencemaran lingkungan oleh PT Semen Indonesia,
dimana hakim pengadilan PN Semarang tidak mengabulkan gugatan karena
sudah kadaluwarsa dari SK pemerintah setempat, kenapa tidak
mementingkan sisi substansinya, kalau memang kenyataannya terbukti
mencemarkan?, ya inilah Orde Bau!
Menurut
Jujun S Suriasumantri (Baca: Pengantar Filsafat Ilmu), ilmu itu
memiliki karakternya: logis, rasional, objektif, terbuka, menjunjung
tinggi kebenaran, bersifat universal. Dalam dialog kedua dan ketida,
memang dikatakan logis dan rasional, tetapi tidak terlihat mampu
menjunjung kebenaran, universal, objektif dan terbuka. Bagaimana bisa
dikatakan objektif jika pertanyaan yang diajukan Tim Seleksi tidak
menganggap kebenaran jawaban sebagai kebenaran, tapi hanya kebenaran
semata tidak lebih?. Bagaimana dapat disebut terbuka jika birokrasi
yang ditanya oleh aktivis seakan-akan menutup-nutupi?.
Catatan
:
- Tolong cerita diatas jangan dimasukkan ke hati, cukup dijadikan analogis dan representatif belaka dengan penggambaran keadaan yang diilhami oleh penulis. Karena cerita diatas jelas ketidakbenarannya dan keberuntungannya jika benar.
- Walau penulis mengangkat topik matematika dan moralitas ilmu, sejujurnya penulis tidak pandai matematika dan selalu mendapat nilai buruk pada setiap ujian dan tes matematika. Meskipun penulis tidak pandai matematika, setidaknya penulis berusaha untuk menjaga amanat ilmu sebagai tanggung jawab moralitas. Mohon doanya, semoga sanggup
Karya
:
Al
Muvti Bhutasvara (Much Taufiqillah Al Mufti)
Mahasiswa
UIN SA Surabaya baik-baik :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar