eskipaper.com |
Saya lebih memilih membawa pertanyaan itu ke ruang kontemplatif terdalam di pikiran saya. Ide untuk kota Surabaya? entahlah. Selama ini saya belum merasa menjadi bagian dari kota Surabaya. mungkin sama seperti yang dirasakan oleh alumni-alumni UINSA yang lain. Penduduk kampus kita rata-rata pendatang yang “numpang” cari ilmu dan penghidupan. Semoga kampusnya juga tidak sekedar “numpang” berdiri di tanahnya. Tapi, apa benar demikian?
Saya
menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol dengan para Pejabat SKPD kota
Surabaya setiap harinya. Dari merekalah saya mulai mengenal setiap
detil perkembangan kota ini. Satu hal yang saya tangkap, setiap
mereka menggagas sebuah program pembangunan, perguruan tinggi selalu
dilibatkan sebagai konsultan utama.
Contohnya
banyak. “Kami tunggu kajian dari ITS.” Untuk pembuatan rekayasa
lalu lintas, sistem e-parking, perencanaan proyek saluran Surabaya
Drainase Master Plan (SDMP), pemetaan Cell-plan,
reaktivasi jalur trem untuk Angkutan Massal Cepat (AMC), proyek Jalan
Lingkar Luar Barat (JLLB) dan lain-lain.
“Kami
tunggu kajian dari Unair,” untuk Pembaruan sistem sanitasi,
Analisis dampak lingkungan, pelestarian wilayah konservasi,
pengendalian dan penanganan penyakit, Rekrutmen Direksi Badan Usaha
Milik Daerah, dan Penggodokan produk hukum berupa perda maupun
perwali. dan lain-lain
“Kami
libatkan tim ahli dari Petra.” Untuk tata arsitektur kota,
pengembangan pendidikan, bahasa, pariwisata, dan kebudayaan. Dan
lain-lain
Lalu
pertanyaannya, Kapan akan terdengar kalimat. “kami tunggu kajian
dari UINSA?” begitu yang terlintas di pikiran saya. Saya cuma bisa
tertawa getir sendirian. Bahkan untuk Grand Design pengembangan
wilayah wisata religi Ampel yang sedang hangat-hangatnya dibahas,
Kampus saya tercinta tak pernah terlintas di pikiran warga kota ini.
Are we talking about the same Ampel?
Kalau
mau apologis, Okelah, tidak mungkin kampus islam punya otoritas
kajian terhadap saluran, aspal, box culvert, lelang online, menara
telekomunikasi dll. Kesehatan juga bukan ahlinya. Pendidikan,
Kebudayaan, Pariwisata? Okelah mungkin di kampus kita ada studi
masalah-masalah tersebut, tapi tetap saja ada yang lebih ahli. Jadi
wilayahnya masih abu-abu. Tapi jangan lupakan bahwa kita memiliki
otoritas yang tidak mungkin direbut oleh kampus lain, Keagamaan. sama
seperti anak UIN yang samasekali tak bisa membahas cor dan beton,
anak ITS juga tidak mungkin membahas bid’ah dan aliran sesat.
Problem
keagamaan di kota Surabaya? Buanyak bin uwakeh alias katah. Dan
hingga hari ini keterlibatan kita masih minim. Untung bapak-bapak
dosen kita yang kompeten masih aktif di Ikatan Da’i Area Lokalisasi
(IDIAL) saat tempat porstitusi terbesar di asia tenggara tersebut
ditutup. Setidaknya kita masih bisa jadi bagian dari sejarah besar
tersebut. Tapi sejauh ini saya belum menemukan kampus kita melakukan
kajian, perencanaan, dan peran pembangunan yang terencana,
terstruktur, dan berkesinambungan untuk membangun aspek keagamaan
kota pahlawan ini. halooo... apa kabar community engaged
university (CEU) yang selama ini didengung-dengungkan?
Baiklah
cukup dulu mengeluhnya, saya mengajak semua orang di UIN Sunan Ampel
tidak peduli itu dosen, senat, birokrat, mahasiswa yang mengaku
pemikir, aktivis, maupun alumninya untuk mempertimbangkan ide seorang
Dosen favorit saya yang satu ini. Waktu itu dia kami undang untuk
mengisi materi kajian untuk mahasiswa baru. Ia kemudian meneriakkan
sebuah konsep. Simple, brilian, visioner, dan kritikal, “beranilah
untuk menentukan ruang dan waktu!” katanya lantang dan berapi-api
disambut dengan angop lebar dari para calon penerus bangsa di
depannya. Ide itu masuk kepala saya dan memicu serangkaian pikiran
seperti sebuah domino.
Berani
menentukan ruang dan waktu tempat kita berpijak, artinya berani
menetukan sikap. Plus siap menanggung segala konsekuensinya. Rumus
sederhananya, orang yang berani menentukan sikap berarti jelas
musuhnya jelas temannya. Kalo anda maling, ya musuhnya polisi. Kalau
polisi, ya musuhnya maling. Sesederhana permainan anak-anak jaman
90-an. Orang tidak punya musuh kemungkinan dia tidak punya sikap.
Para Da’i di televisi amat disukai karena mereka tidak punya sikap.
Omongannya tidak konteks. Lain para da’i di area lokalisasi,
musuhnya para psk, centeng, dan mucikari. beserta seluruh jamaah jin,
setan, iblis, jenglot dan memedi.
Sama
seperti para mahasiswa “baik-baik” yang cuma memikirkan IPK dan
kelulusannya sendiri. Sehingga sering abai terhadap tanggung jawab
pada lingkungannya. Saya sering heran karena kawan-kawan perempuan
lebih suka lelaki yang lovable seperti mereka. kok hobi
benar memilih laki-laki yang tidak punya sikap. Saya sering dihujat
selama kuliah karena punya banyak musuh. masa bodo, Karena itu bukti
bahwa saya punya sikap. Kalo ditanya niru siapa, saya jawab saja
“Rasulullah, musuhnya banyak,”
Ruang
dan waktu bagi Kampus kita sejatinya tidak sulit dirumuskan. Bapak
Sekretaris Jenderal Kemenag RI yang juga mantan Rektor kita, Prof.
Dr.H. Nur Syam, M.Si pernah mengatakan kalau UIN yang ada di Surabaya
harus menjadi pioner untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang
bersifat sosial dan humaniora. Artinya kita harus menjadi Social
Engineer yang handal untuk membangun supra struktur kota ini, Jawa
Timur, sukur-sukur naik ke level nasional.
So,
sudah saatnya UIN berani menentukan sikap. Berani menentukan sikap
artinya berani engage in fight. Siap tawuran siap gegeran. Apa
yang kita perangi? Banyak. Prostitusi, Perjudian, dekadensi moral,
LGBT, terorisme, narkoba wa akhwatuha. tapi tentunya
tidak dengan cara zaman purba teriak-teriak bawa poster dan megafon.
Baik
tidaknya kampus kita di mata negara, warga kota maupun dunia tidak
diukur melalui pemberitaan media ataupun situs perangking. Juga tidak
diukur dari megahnya gedung, kaos sablon, gantungan kunci, stiker,
atau berapa kali muncul di media. Namun karena peran nyatanya di
tengah-tengah masyarakat. Sehingga julukan “menara gading”
ataupun “kampus gagal konteks” tidak tersemat terlalu lama pada
kita.
Jika
peran dan kontribusi kita nyata, kemulian akan katut. UINSA tidak
perlu lagi repot-repot hanya untuk menjadi kampus baik-baik berisi
mahasiswa yang dididik untuk jadi anak baik-baik, bapak rektor juga
tidak perlu ngotot berulang-ulang menuntut alumninya memberitakan
yang baik-baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar