Sabtu, 27 Februari 2016

KAMPUS GAGAL KONTEKS


eskipaper.com
Dua bulan menjadi wartawan yang ngepos  di Pemkot Surabaya, Redaktur saya selalu menanamkan pertanyaan yang sama ke kepala saya setiap malam. “Apa ide kamu untuk kemajuan kota ini?” tanyanya. Sebenarnya tidak sulit untuk mengemukakan beberapa jawaban, namun, saya rasa pasti akan terdengar klise dan diplomatis.
Saya lebih memilih membawa pertanyaan itu ke ruang kontemplatif terdalam di pikiran saya. Ide untuk kota Surabaya? entahlah. Selama ini saya belum merasa menjadi bagian dari kota Surabaya. mungkin sama seperti yang dirasakan oleh alumni-alumni UINSA yang lain. Penduduk kampus kita rata-rata pendatang yang “numpang” cari ilmu dan penghidupan. Semoga kampusnya juga tidak sekedar “numpang” berdiri di tanahnya. Tapi, apa benar demikian?
Saya menghabiskan waktu berjam-jam ngobrol dengan para Pejabat SKPD kota Surabaya setiap harinya. Dari merekalah saya mulai mengenal setiap detil perkembangan kota ini. Satu hal yang saya tangkap, setiap mereka menggagas sebuah program pembangunan, perguruan tinggi selalu dilibatkan sebagai konsultan utama.
Contohnya banyak. “Kami tunggu kajian dari ITS.” Untuk pembuatan rekayasa lalu lintas, sistem e-parking, perencanaan proyek saluran Surabaya Drainase Master Plan (SDMP), pemetaan Cell-plan, reaktivasi jalur trem untuk Angkutan Massal Cepat (AMC), proyek Jalan Lingkar Luar Barat (JLLB) dan lain-lain.
Kami tunggu kajian dari Unair,” untuk Pembaruan sistem sanitasi, Analisis dampak lingkungan, pelestarian wilayah konservasi, pengendalian dan penanganan penyakit, Rekrutmen Direksi Badan Usaha Milik Daerah, dan Penggodokan produk hukum berupa perda maupun perwali. dan lain-lain
Kami libatkan tim ahli dari Petra.” Untuk tata arsitektur kota, pengembangan pendidikan, bahasa, pariwisata, dan kebudayaan. Dan lain-lain
Lalu pertanyaannya, Kapan akan terdengar kalimat. “kami tunggu kajian dari UINSA?” begitu yang terlintas di pikiran saya. Saya cuma bisa tertawa getir sendirian. Bahkan untuk Grand Design pengembangan wilayah wisata religi Ampel yang sedang hangat-hangatnya dibahas, Kampus saya tercinta tak pernah terlintas di pikiran warga kota ini. Are we talking about the same Ampel?
Kalau mau apologis, Okelah, tidak mungkin kampus islam punya otoritas kajian terhadap saluran, aspal, box culvert, lelang online, menara telekomunikasi dll. Kesehatan juga bukan ahlinya. Pendidikan, Kebudayaan, Pariwisata? Okelah mungkin di kampus kita ada studi masalah-masalah tersebut, tapi tetap saja ada yang lebih ahli. Jadi wilayahnya masih abu-abu. Tapi jangan lupakan bahwa kita memiliki otoritas yang tidak mungkin direbut oleh kampus lain, Keagamaan. sama seperti anak UIN yang samasekali tak bisa membahas cor dan beton, anak ITS juga tidak mungkin membahas bid’ah dan aliran sesat.
Problem keagamaan di kota Surabaya? Buanyak bin uwakeh alias katah. Dan hingga hari ini keterlibatan kita masih minim. Untung bapak-bapak dosen kita yang kompeten masih aktif di Ikatan Da’i Area Lokalisasi (IDIAL) saat tempat porstitusi terbesar di asia tenggara tersebut ditutup. Setidaknya kita masih bisa jadi bagian dari sejarah besar tersebut. Tapi sejauh ini saya belum menemukan kampus kita melakukan kajian, perencanaan, dan peran pembangunan yang terencana, terstruktur, dan berkesinambungan untuk membangun aspek keagamaan kota pahlawan ini. halooo... apa kabar community engaged university (CEU) yang selama ini didengung-dengungkan?
Baiklah cukup dulu mengeluhnya, saya mengajak semua orang di UIN Sunan Ampel tidak peduli itu dosen, senat, birokrat, mahasiswa yang mengaku pemikir, aktivis, maupun alumninya untuk mempertimbangkan ide seorang Dosen favorit saya yang satu ini. Waktu itu dia kami undang untuk mengisi materi kajian untuk mahasiswa baru. Ia kemudian meneriakkan sebuah konsep. Simple, brilian, visioner, dan kritikal, “beranilah untuk menentukan ruang dan waktu!” katanya lantang dan berapi-api disambut dengan angop lebar dari para calon penerus bangsa di depannya. Ide itu masuk kepala saya dan memicu serangkaian pikiran seperti sebuah domino.
Berani menentukan ruang dan waktu tempat kita berpijak, artinya berani menetukan sikap. Plus siap menanggung segala konsekuensinya. Rumus sederhananya, orang yang berani menentukan sikap berarti jelas musuhnya jelas temannya. Kalo anda maling, ya musuhnya polisi. Kalau polisi, ya musuhnya maling. Sesederhana permainan anak-anak jaman 90-an. Orang tidak punya musuh kemungkinan dia tidak punya sikap. Para Da’i di televisi amat disukai karena mereka tidak punya sikap. Omongannya tidak konteks. Lain para da’i di area lokalisasi, musuhnya para psk, centeng, dan mucikari. beserta seluruh jamaah jin, setan, iblis, jenglot dan memedi.
Sama seperti para mahasiswa “baik-baik” yang cuma memikirkan IPK dan kelulusannya sendiri. Sehingga sering abai terhadap tanggung jawab pada lingkungannya. Saya sering heran karena kawan-kawan perempuan lebih suka lelaki yang lovable seperti mereka. kok hobi benar memilih laki-laki yang tidak punya sikap. Saya sering dihujat selama kuliah karena punya banyak musuh. masa bodo, Karena itu bukti bahwa saya punya sikap. Kalo ditanya niru siapa, saya jawab saja “Rasulullah, musuhnya banyak,”
Ruang dan waktu bagi Kampus kita sejatinya tidak sulit dirumuskan. Bapak Sekretaris Jenderal Kemenag RI yang juga mantan Rektor kita, Prof. Dr.H. Nur Syam, M.Si pernah mengatakan kalau UIN yang ada di Surabaya harus menjadi pioner untuk pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang bersifat sosial dan humaniora. Artinya kita harus menjadi Social Engineer yang handal untuk membangun supra struktur kota ini, Jawa Timur, sukur-sukur naik ke level nasional.
So, sudah saatnya UIN berani menentukan sikap. Berani menentukan sikap artinya berani engage in fight. Siap tawuran siap gegeran. Apa yang kita perangi? Banyak. Prostitusi, Perjudian, dekadensi moral, LGBT, terorisme, narkoba wa akhwatuha. tapi tentunya tidak dengan cara zaman purba teriak-teriak bawa poster dan megafon.
Baik tidaknya kampus kita di mata negara, warga kota maupun dunia tidak diukur melalui pemberitaan media ataupun situs perangking. Juga tidak diukur dari megahnya gedung, kaos sablon, gantungan kunci, stiker, atau berapa kali muncul di media. Namun karena peran nyatanya di tengah-tengah masyarakat. Sehingga julukan “menara gading” ataupun “kampus gagal konteks” tidak tersemat terlalu lama pada kita.
Jika peran dan kontribusi kita nyata, kemulian akan katut. UINSA tidak perlu lagi repot-repot hanya untuk menjadi kampus baik-baik berisi mahasiswa yang dididik untuk jadi anak baik-baik, bapak rektor juga tidak perlu ngotot berulang-ulang menuntut alumninya memberitakan yang baik-baik.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar

header

Theme Preview

Previewing Another WordPress Blog