Senin, 15 Februari 2016

Inilah Bagaimana Skeptisisme Membunuh Organisasi (Part-1)



Sabtu pagi itu, saya sedang berbincang dengan seorang pejabat Dinas Kebersihan dan Pertamanan kota Surabaya. dari beberapa kali diskusi dengannya, air muka dan antusiasme tatapannya, saya secara subyektif menilai beliau adalah orang yang benar-benar berdedikasi terhadap kebersihan kota ini. Berjasa membuat kota yang kita tinggali ini bersih setiap 6.30 pagi.

Sudah sekitar sebulan setengah saya meninggalkan kampus. Mencoba peruntungan untuk mengadu skill dan kemampuan dengan udara di luar tembok kampus. Agak berat sebenarnya karena kelulusan saya meninggalkan begitu banyak persoalan yang belum terselesaikan di Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Sederhananya, perintah senior sebagai ‘imadul kampus  belum bisa saya laksanakan secara sempurna. 3 bulan menjadi tenaga Humas rektorat sepertinya cukup strategis, tapi tuhan berkata lain. Saya ditarik ke menara biru. “Test your might!,” Katanya. menirukan narator game Mortal Kombat kesukaan saya. Entah darimana Tuhan tahu game itu. Tumben juga dia berbisik pake bahasa inggris. Biasanya arab.
Ketidakmampuan itu, satu karena kondisi internal kampus yang mengalami perubahan ndadak yang dalam hemat saya lamban direspon oleh tokoh-tokoh organisasi di semua sektor. Sehingga perubahan itu milipir ke arah yang tidak semestinya. Dua, kondisi pikiran saya yang sampai wisuda pun belum bisa memetakan duduk persoalan yang menimpa diri, organisasi tercinta, Fakultas, Jurusan, dan Dunia Intelektual kampus. Persoalan PMII di kampus UINSA, menurut saya mirip bihun yang nyangkut di ruji becak kemudian dibawa muter bundaran dolog tujuh kali. Mbulet, ruwet, salbut, tidak ketemu koncok dan bhungkah-nya.
Namun, kalimat singkat bapak pejabat ini mengurai begitu banyak simpul ruwet dikepala saya.
“Kalo ada hal ndak bener dibiarkan, skeptisisme yang akan muncul,” katanya. Kepala saya lagsung memunculkan gambar lampu bohlam dengan sound effect ting!, merknya philips
Mudeng? Oke saya jelaskan...
Ndak bener yang dimaksud disini adalah hal-hal yang melanggar asas (arab: fondasi). Asas adalah kebenaran paling umum yang disepakati oleh akal sehat manusia baik itu Kiai maupun maling. Nyai Ontosoroh rekaan Pramoedya Ananta Toer dalam “Anak Semua Bangsa (1981)” pernah menceramahi menantunya Raden Mas Minke atau Minke tentang asas. “Orang yang mencuri sebutir mangga patut dihukum, karena ia telah melanggar asas. Benar kehilangan sebutir mangga si pemilik rumah tidak rugi. Tapi ini adalah asas. Bukan persoalan untung-rugi. Asasnya orang yang mencuri harus dihukum!”
Mudeng? Makanya baca sampai habis, hahaha..
Malamnya, saya menerima curhat dari seorang kader binaan saya. Kebetulan, ia adalah seorang koordinator angkatan dan ketua rayon terpilih untuk masa  bakti 2016-2017. Ia curhat tentang kesulitannya mengumpulkan seluruh anggota rayon dari 3 angkatan untuk melaksanakan rapat kerja (RAKER). Alasannya bermacam-macam, mulai sibuk hingga liburan. Sehingga ia terkesan bekerja sendirian. Mendengar itu saya langsung mengawinkan dua alis saya yang sebenarnya tidak berjodoh.
“memangnya kamu siapa?” tanya saya dengan nada heran
“ketua rayon terpilih cak?” jawabnya takut-takut
“sudah dilantik?”
“Belum.”
“Lha ngapain mau ngadakan raker?”  
Kemudian ia bercerita bahwa semalam sebelumnya ia telah menghadap ke pucuk pimpinan PMII Cabang Surabaya. intinya meminta restu untuk melakukan raker meskipun belum dilantik. Jawaban dari si Pucuk Pimpinan bikin saya gemas dan mengelus dada.
“Katanya boleh cak, biar kerjanya cepat,”
Okelah saya husnuzzon saja mungkin pertimbangan dari si Pucuk Pimpinan adalah efisiensi. Maksudnya ndang kerjo nanti fomalitas menyusul. Kita harus kerja ikhlas tanpa mengharapkan imbalan berupa status,pengakuan, legitimasi berupa SK dan sebagainya. Pemimpin harus mau mengambil inisiatif meskipun belum resmi dilantik. Mau bekerja tidak cuma bisa menyuruh saja. Wuih...betapa mulianya cara berpikir si Pucuk Pimpinan ini. Saking mulianya, bisa amburadul tatanan organisasi kalau semua pimpinannya berpikir seperti itu.
Sekilas bagus, namun jawaban dari pucuk pimpinan jelas menabrak asas. Pertama, sebelum benar-benar dilantik, ketua terpilih hasil RTAR bukanlah ketua rayon, ulangi, bukan. Jadi semulia-mulianya ketua terpilih berinisiatif mengkoordinasi pelaksanaan raker adalah salah kaprah, prah. Dia bukan ketua. Pemegang kekuasaan definitif selama masa peralihan kekuasaan adalah tim formatur yang terdiri dari ketua, sekretaris, beranggotakan koordinator angkatan, serta petugas mandataris dari pengurus Rayon Demisioner dan Pengurus Harian Rayon terpilih. Hingga ketua baru benar-benar dilantik, organisasi masih tanggung jawab tim formatur ini.
Kedua, Organisasi yang kebingungan dalam masa peralihan menandakan bahwa RTAR yang dilaksanakan tidak dengan prosedur yang benar atawa mendem. Sehingga segala keputusan didasarkan pada 4E, yaitu Enak-E, Ketok’an-E, Rasa-rasan-E, dan Biasan-E. Sebuah penyakit akut PMII sejak dulu. Semua keputusan tidak dilandaskan pada aturan baku organisasi. Penyakit ini mulai menggantikan 4T (tasamuh, tawazun, tawassuth dan ta’adul)
Ketiga, kita tidak boleh serakah. Atau sok memikirkan wilayah kerja orang, selama wilayah kerja kita sendiri amburadul. Saat dia menghadap ke saya, status aktifnya adalah koordinator angkatan. Jadi kewajibannya adalah mengawal angkatannya bersama-sama melakukan tugas seorang kader.
Kalau kita seorang ayah, fokuslah memikirkan bagaimana anggota keluarga kita terpenuhi dan tercukupi. ndak usah mikirin kondisi negara kecuali urusan dapur beres. Kalau kita camat, fokus ke satu wilayah kecamatan, kalau bupati, ya seluas kabupaten, kalau presiden, ya mikirin negara. Kalau semua orang berpikir seperti ini, tidak akan ada lagi Orang berjenggot yang pamit meninggalkan keluarganya untuk berjihad di jalan Allah. Kalau bukan ketua rayon, ya tidak usah sok mikir urusan Rayon. Ndak boleh? Bukan!, hanya tidak sesuai tempatnya saja.
“Paham?!!”
“I, iya cak,”
“Nah, sekarang hormati gurumu, bantu temanmu, sayangi pacarmu, lakukan hal-hal yang bermanfaat, biarkan sistem yang menyelesaikannya. Saya tidak mau kamu menyalahkan PMII setelah lulus sebagai biang ketidakbahagiaan masa-masa kuliahmu,”
“Siap cak,” katanya sambil pamit pulang.       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

header

Theme Preview

Previewing Another WordPress Blog